Juli 10, 2011

BERJUANG UNTUK TETAP HIDUP (PART 1)

Tuesday, April 12, 2011

Aku dibesarkan di pedesaan yang rata2 mata pencaharian penduduknya bertani. Bertahun-tahun tinggal di lingkungan yang masih hijau dengan ruang gerak yang begitu luas membuatku yang 8 tahun belakangan ini tinggal di kota dengan ruang gerak yang begitu terbatas membuatku sangat merindukan kampung halamanku, rindu masa kecilku. Masa di mana aku belajar banyak hal yang baru sekarang2 ini aku menyadari aku telah belajar begitu banyak dari pengalamanku sehari-hari.

Dulu aku punya waktu bermain yang amat panjang. Ya, selama ayah-ibu tidak di rumah, selama ayah-ibu belum pulang kerja, aku bebas pergi ke mana saja, bermain apa saja dengan teman2 mainku. Tapi begitu ayah-ibu pulang, terutama ibuku, itu pertanda aku harus siap sewaktu-waktu dipanggil disuruh pulang. ‘Ayo mandi’ atau ‘Ayo pulang belajar!’ atau ‘Pulang, makan dulu!’ Hehehe.....

Tapi sebenarnya kalau kupikir-pikir waktu bermainku sudah lebih dari cukup. Dulu main ke tetangga2 dengan beragam aktivitas mereka, buatku itu hal biasa. Tapi sekarang2 ini setelah tidak lagi kujumpai aktivitas2 mereka yang seperti dulu rasanya aku pengin bisa kembali melihat aktivitas2 seperti dulu. Begitu banyak hal yang bisa dilakukan bersama-sama. Rasanya ada banyak waktu berkumpul bersama tetangga2. Rasanya kita jadi lebih dekat satu sama lain. Sekarang2 ini perkembangan teknologi berangsur-angsur sudah merubah mata pencaharian dan pola hidup sebagian besar masyarakat. Ya, kemajuan sudah merambah sampai ke pelosok2. Waktu untuk berkumpul dengan tetangga2 sudah tidak sebanyak dulu lagi. Semuanya sudah disibukkan oleh aktivitas masing2.

Di sela2 bertani, berkebun dan berladang, warga di daerahku rata2 punya pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan mereka. Ya, selama menunggu masa panen, ada begitu banyak hal yang bisa dilakukan. Ada yang miara ikan di kolam, rata2 ikan gurame dan ikan lele. Aku kadang ikut memberi makan ikan2. Gurame dikasih makan daun pepaya atau daun talas sedang lele dikasih makan pelet. Ada juga yang miara sapi dan kerbau. Kerbau rata2 dimanfaatkan tenaganya untuk membajak sawah. Dulu aku paling suka membuntuti tetanggaku yang akan memandikan kerbaunya di sungai. Membawa cemeti di tangannya, tetanggaku menggiring kerbau ke sungai dengan anak cowoknya yang juga teman mainku duduk di atas salah satu kerbaunya. Senangnya.... pengin ikut naik tapi takut..... hiiiiii....
Aku dan beberapa teman dulu sudah hafal dengan jadwal mandi kerbau. Lewat depan rumahku pk.4 sore. Mengikuti dari belakang, kita melihat kerbau2 yang lagi dimandiin, digosok punggung dan badannya sampai bersih dan digiring kembali ke kandang.

Banyak juga yang miara kambing dan domba. Teman2 mainku yang cowok dulu juga punya kewajiban membantu orangtuanya mencarikan rumput untuk ternaknya, ‘ngarit’ kami menyebutnya. Dulu aku pengin banget ikut-ikutan ngarit. Tapi aku ngarit buat apa. Makanya aku pengin miara kelinci atau marmut biar punya alasan untuk ikut ngarit bersama temanku. Keinginan yang tidak pernah kesampaian karena aku tidak diizinkan miara kelinci atau marmut. Ya, orang yang bosenan kek aku cuma bakal semangat di awal, mengkeret di akhir, Nantinya piaraanku cuma bakal ga keurus. Itu artinya menambah kerepotan orangtuaku coz jadi ada pekerjaan tambahan mengurus piaraanku. Bener juga... Hehehe...

Dulu hampir semua rumah miara ayam. Ayam yang tiap malam dimasukkan ke kandang dan di siang hari dibiarkan bebas berkeliaran. Memberi makan ayam. Hehe... itu kadang kulakukan. Ayam2 nenekku. Makanan ayam bervariasi, kadang pipilan jagung, kadang nasi sisa yang dicampur bekatul dan air, kadang padi atau disebut gabah. Jika ayam yang bertelur cukup banyak, kadang diambil beberapa untuk dikonsumsi sendiri. Telur ayam kampung kan lebih sehat. Telur2 yang lain dibiarkan untuk dierami induknya. Jika telur sudah menetas, induk2 ayam menjadi sangat galak. Tak kan dibiarkannya siapa pun mendekat mengganggu anak2nya. So... ditladung pitik alias dikejar-kejar dan dipatuk induk ayam itu sudah biasa waktu itu. Cuma ke nenekku aja si ayam tidak berani macam2, bakal ga dikasih makan ntar. Hehehe....

Dan merupakan sebuah pemandangan yang biasa waktu itu buat tetangga2 yang mau menjual ayamnya, pukul 5 pagi mereka sudah keluar rumah, menanti pedagang ayam yang lewat. Aku dulu senang sekali bisa menyaksikan negosiasi antara nenek atau tetanggaku dengan pedagang ayam keliling. Pedagang2 ini membawa kandang ayam yang ditaruh di belakang sepedanya. Berkeliling ke kampung2 membeli ayam2 dari warga untuk kemudian dijual kembali ke pasar. Biasanya nenekku atau tetanggaku menjual ayam jika ayamnya sedang gering atau sakit atau terpaksa untuk membayar uang sekolah anaknya. Kalau sudah dicapai kesepakatan harga, barulah ayam itu dijual. Aku dan adikku dulu tiap nenekku menjual ayam, selalu dapat jatah 500 perak per orang. Hehe mayan buat uang jajan.... ^_^

Ada beberapa tetangga juga yang miara bebek, mentog dan angsa. Angsa ini telurnya gedhe2. Kalau bertelur kadang sembarangan. Di tengah jalan atau di kebun pun jadi. Lumayan kalau pas main nemu telur angsa. Kalau rombongan angsa lewat, kami biasanya memilih menyingkir coz mereka terkenal galak2. Xixi serem.
Aku sama sekali tidak takut dengan hewan2 piaraan ini. Terkecuali angsa, harus ekstra hati2 daripada kena sosor. Main di kandang hewan2 ini dulu hal biasa buat kami. Kadang2 minta kotoran kambing, kerbau atau sapi yang sudah rada lama dan bercampur dengan tanah dan jerami, sangat bagus untuk pupuk. Bau sih, tapi ga terlalu menyengat kek kotoran yang masih baru. Dan sudah bukan hal yang asing waktu itu kalau lagi main ga sengaja menginjak kotoran hewan coz memang banyak bertebaran di jalan2, sedang kami waktu itu terbiasa bermain-main sambil bertelanjang kaki alias nyeker.

Oh ya, aku beberapa kali menyaksikan proses kelahiran sapi tetangga. Lumayan seru. Ditungguin rame2 mpe pagi dan kemudian dibantu saat proses kelahirannya. Dan lahirlah sapi kecil yang warnanya kemerahan. Lucuuuu....

Selain miara ternak, tetangga2ku juga punya pekerjaan sampingan lain. Membuat gerabah, memproduksi emping, membuat lempeng, membuat genting dan batu bata. Membuat gerabah ini cukup banyak dilakukan oleh tetanggaku. Mbok Yem, adik nenekku yang mengasuhku sejak kecil juga membuat gerabah. Aku mpe apal proses pembuatannya yang cukup rumit dan memakan waktu yang lama tapi harga jualnya sangat murah tak sebanding dengan jerih payah mereka. Aku jadi ingat, dulu waktu masih kecil, berumur sekitar 1-2 tahun, sambil mengasuhku, mbok Yem tetap membuat aneka gerabah. Aku tertidur terayun-ayun di punggungnya, diikat dengan selendang supaya tidak jatuh. Sedang Mbok Yem tangannya yang satu sibuk memutar terbot pembuat gerabah, tangannya yang lain sibuk membuat pola gerabah. Senang terayun-ayun dalam gendongannya membuatku tertidur cukup lama. Apalagi mbok Yem membuat gerabah di tempat yang sangat semilir, banyak angin. Jadi kangen Mbok Yem....
Mbok Yem makasih dulu sudah menjaga dan mengasuhku dengan amat baik.....

Membuat batu bata.
Aku paling suka ikut2an mencetak bata. Memasukkan adonan ke dalam cetakan, meratakannya kemudian membuat simbol2 penanda tiap bata dengan jari. Tangan, kaki dan baju berlepotan lumpur tapi seru.
Bata2 yang sudah dicetak kemudian dijemur hingga kering. Tidak boleh dijemur di bawah sinar matahari yang terlalu terik, cukup diangin-anginkan saja. Jika sudah kering siap untuk dibakar. Membakar bata ini merupakan hal yang sangat menyenangkan. Biasanya dibuat besar2an coz beberapa pemilik bata dengan bata2 yang masing2 sudah ditandai dibakar bersama-sama supaya lebih menghemat tempat, waktu, tenaga dan kayu bakar. Proses pembakaran berlangsung semalaman so kebanyakan bapak-bapak jadi pada bergadang menunggu api supaya tetap menyala. Semuanya memakai sarung dan peci, ngobrol sampai malam ditemani kartu remi dan aneka cemilan. Aku baru boleh ikut bergabung dengan mereka sampai malam jika keesokan hari sekolah libur. Jadi ingat dulu untuk menjaga supaya kita tidak digigit nyamuk, kita membakar onthel. Onthel ini bunga pohon kluwih, semacam nangka tapi lebih kecil, bentuknya bulat. Onthel ini warnanya coklat panjang kayak ular. Jika dibakar sangat manjur untuk mengusir nyamuk2 pengganggu.

Membakar gerabah lain lagi. Tiap rumah yang punya usaha sampingan membuat gerabah biasanya punya tempat pembakaran sendiri. Tempat pembakaran ini kami biasa menyebutnya ‘kobongan’. Tetangga2 yang ga punya cukup lahan untuk membuat kobongan, biasanya mereka nitip membakar atau pinjam pembakaran. Membakar gerabah tidak selama membakar batu bata tapi jika kuperhatikan cukup melelahkan coz sebentar2 api harus dijaga agar tidak padam. Peluh bercucuran coz udara di depan pembakaran yang sangat panas. Gerabah2 yang sudah selesai dibakar biasanya didiamkan dulu selama beberapa jam supaya panasnya hilang. Hasil pembakaran untuk cobek biasanya berwarna hitam sedang keren dan perlengkapannya berwarna merah. Aku tidak tahu bagaimanakah pengaturannya supaya warnanya bisa begitu, sepertinya dari peletakkannya waktu proses pembakaran. Ditaruh di atas atau dekat dengan api akan memberi efek warna yang berbeda.
.
Menjual gerabah yang sudah jadi pun cukup merepotkan. Tetanggaku biasanya mengangkutnya dengan keranjang gedhe yang ditauh di atas sepeda, kemudian menjualnya berkeliling dari rumah ke rumah dan terakhir baru ke pasar. Berangkat subuh dan baru pulang sore hari. Sungguh perjuangan yang berat ya. Mereka benar2 pejuang yang hebat. Aku ga yakin apa aku bisa melakukannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar