Mei 15, 2011

BELAJAR MANDIRI SEJAK KECIL

Tuesday, April 5, 2011

Mandiri. Dulu aku tidak terlalu mempersoalkan dan membanding-bandingkan mengenai ‘mandiri’ ketika masih tinggal di Yogya karena hal2 yang sekarang2 ini kuanggap sebagai ‘mandiri’ ini sudah begitu lazim di Yogya. Tetapi semenjak aku tinggal di Bandung dan mengalami sendiri, membuatku mau ga mau akhirnya membuat perbandingan.
Aku suka gemes sendiri jika melihat seorang anak yang sudah SMA atau bahkan sudah kuliah, ke mana2 masih diantar jemput entah itu oleh sopir, kakak atau orangtua. Sudah gedhe, emang ga bisa pergi sendiri????
Hehehe.

Tinggal di Yogya, terutama di lingkungan tempat tinggalku, sudah biasa melihat anak kecil, berpakaian seragam putih-merah berangkat ke sekolah sendiri, pulang sekolah sendiri. Mungkin karena keadaan dan keterbatasan ekonomi jugalah yang memaksa orangtua melatih anaknya bisa mandiri sejak kecil. Orangtua tidak punya cukup banyak waktu untuk selalu mendampingi anak2nya. Anak2 dilatih untuk mandiri dan melakukan apa2 sendiri sejak kecil. Ya, keadaan rumah yang tanpa pembantu memaksa orangtua melatih anak2nya untuk bisa melalukan apa2 sendiri, kalau tidak semuanya bakal terbengkalai.

Sejak kecil aku sudah terbiasa ke mana2 sendiri. Dari TK sampai SD kelas IV aku memang masih diantar jemput ke sekolah, tidak seperti teman2 mainku di dekat rumah yang terbiasa berangkat ke sekolah sendiri dengan jalan kaki. Aku harus diantar karena jarak rumahku dengan sekolahku cukup jauh, sekitar 5km. Setelah duduk di kelas IV aku memutuskan untuk berangkat ke sekolah sendiri dengan naik sepeda coz temanku yang rumahnya lebih jauh dari rumahku yang juga cewek juga bisa dan berani melakukannya. Aku yakin aku juga bisa. Sempat kesel ketika ayahku tidak mempercayaiku kalau aku bisa. Hari pertama berangkat ke sekolah dengan bersepeda, ayah membuntutiku sampai dekat sekolah. Ya, mungkin ayahku merasa khawatir bakal terjadi sesuatu dengan gadis kecilnya.

Yang kadang membuatku sekarang2 ini seakan ga percaya dengan diriku sendiri, kadang2 dulu aku ikut misa pagi di gereja deket sekolah. Misa pk.05.30. Jika berangkat dengan naik sepeda otomatis pk.05.00 aku sudah harus berangkat dari rumah. Kadang2 aku memang kebagian tugas misdinar di misa pagi coz aku sendiri yang memintanya waktu itu. Hehehe.... hebat juga ya aku. Kok bisa bangun pagi ya.
Misa selesai pk.06.00 sedangkan sekolah baru dimulai pk.07.00. So aku jadi rajin bersih2 kelas waktu itu, kadang2 juga membantu pak bon menyapu halaman. Yeah.... daripada bengong ga da kerjaan.

Mendaftar ke SMP waktu itu aku kolektif dengan teman2ku sesama SD yang kebanyakan waktu itu mendaftar ke SMP yang sama yang masih satu Yayasan. Ayah-ibu sama sekali tidak ikut campur tangan dalam pendaftaranku. Yeah... mereka menyiapkan dana yang harus kubayarkan dan aku membayar sendiri ke sekolah. Aku berangkat ke sekolah juga dengan naik sepeda. Jarak SMP-ku dengan rumahku lebih dekat jika dibandingkan jarak SD ke rumahku. Bersepeda itu sehat so pantas saja klo waktu itu aku jarang sakit. Yang pasti kulitku waktu itu amat sangat hitam. Ya maklum di Yogya terik matahari begitu menyengat.

Masuk SMA, aku mendaftar diantar oleh ayahku coz jarak sekolah pilihanku dengan rumah sangat jauh dan aku sama sekali belum tahu rute ke sana. Waktu itu tak ada seorang pun teman2 dari SMP-ku yang mendaftar ke SMA yang sama denganku. Jadi waktu itu sama sekali tidak ada yang kukenal di kelasku. Teman baru semuanya. Hehehe....
Selama beberapa minggu di kelas 1 SMA aku masih diantar jemput oleh ayahku. Berakhir ketika ada salah satu temanku yang meledekku ‘anak papa’. Berkat ledekan itu aku ga mau lagi diantar jemput oleh ayah. Aku memilih pulang dan pergi naik kendaraan umum. Berangkat ikut ayah sampai perempatan Wirobrajan kemudian lanjut dengan naik bus ke sekolahku. Turun di pertigaan Jati Kencana dan lanjut dengan jalan kaki sekitar 15 menit sampailah di sekolahku. Gimana tidak sehat, banyak jalan kakinya. Hehehehe......

Naik kendaraan umum alias bus itu sama artinya dengan membuang banyak waktu. Banyak bus2 yang ga mau mengangkut pelajar coz bakal membayar murah, Rp.150,- waktu itu. So dengan terpaksa kadang aku harus menunggu bus yang bisa kutumpangi 30 menit sampai 1 jam. Belum perjalanan sampai rumah bisa menghabiskan waktu sampai 40 menit. Hohoho... perjuangan zaman SMA. Naik bus, berdesak-desakkan, sabar menunggu giliran keangkut, sumpek, panas, bau yang campur-aduk. Ternyata aku bisa juga melakukannya.

Setelah kelas II SMA aku baru boleh naik motor ke sekolah. Ini jauh lebih memudahkanku. Bisa berangkat seenaknya ga takut ga kebagian bus. Hal ini berakibat aku jadi sering memanfaatkan toleransi keterlambatan 15 menit. Bayangin, jarak rumahku ke sekolah sekitar 20-25 km dengan waktu tempuh naik sepeda motor sekitar 30 menit dengan situasi lalulintas pagi yang lumayan crowded, sekolah masuk pk.07.15, seringkali aku baru berangkat dari rumah pk.06.55. Hehehe. Akibatnya terpaksa ngebut dan sering menggunakan jalur mobil di Ring Road dengan kecepatan 100km/jam. Sekarang klo ingat suka ketawa sendiri. Kok berani ya. Sekarang aku sudah tidak berani lagi melakukannya, bakal bener2 ketilang dah. Bersyukur banget dulu sekali pun aku belum pernah ketilang. Hehehe bandel.....

Lulus SMA, aku melanjutkan kuliah juga dengan usaha sendiri. Memilih kampus sendiri, mendaftar, tes masuk dan menyelesaikan administrasi sendiri. Orangtuaku tinggal menunggu pemberitahuan kapankah aku harus melunasi bea masuk dan mengusahakannya untukku.

Ketika akhirnya aku memutuskan kerja di Bandung, aku berangkat ke Bandung juga sendiri. 3 bulan pertama kerja aku berangkat dan pulang ke kantor dengan naik angkot. Berangkat naik angkot dua kali dan pulangnya naik angkot sekali. Naik angkot berarti banyak waktu yang harus kuhabiskan dengan jalan kaki tiap pagi dan sore. Sangat sehat. Hehehe...
Naik angkot pula membuatku seringkali punya pengalaman mendapatkan sopir angkot yang ugal2an di jalan atau diturunkan di tengah jalan yang sepi sekitar pk.9 malam gara2 tidak ada penumpang yang lain, diminta ganti angkot yang lain. Benar2 keterlaluan. Untung tidak pernah terjadi hal2 yang tidak diinginkan.
Mengingat pengalaman2 di waktu yang telah lalu cukup menyenangkan juga ternyata.

Ya, sejak SD aku dan adik2ku sudah dibiasakan mengurus apa2 sendiri. Membayar uang sekolah sendiri, mencari tempat les sendiri, berangkat les sendiri. Orangtuaku sudah memberikan kepercayaan kepada anak2nya sejak masih kecil. Terkecuali menginap di rumaht teman, pulang larut malam dan pergi ke luar kota ma teman itu larangan keras buatku. Dulu kadang2 larangan ini membuatku marah dan seringkali menangis. Kenapa teman2ku boleh sedangkan aku tidak boleh. Kadang2 kan pengin juga bisa sesekali merasakan kebersamaan dengan teman2ku. Huehuehue....

Sekarang2 ini kalau melihat orangtua ataupun sopir yang membayarkan uang sekolah, kadang membuatku geleng2 kepala. Anak SMA, SPP-nya masih dibayarkan? Kenapa tidak membayar sendiri? Anak temanku yang tidak boleh pergi ke mana2 sendiri, naik angkot tidak boleh. Ke mana2 harus diantar jemput. Ketakutan orangtua yang kadang2 menurutku terlalu berlebihan. Mungkin karena di kota besar tingkat kriminalitas begitu tinggi itu yang membuat orangtua begitu khawatir anaknya pergi sendiri tanpa pengawasan. Takut ada apa2 di jalan.

Melihat tetanga2ku di bandung dengan keadaan ekonomi yang pas2an, mereka terbiasa membiasakan anak2nya berangkat ke sekolah sendiri. Mereka bisa juga kok. Dan aman2 saja. Ya, memang butuh keberanian yang besar bagi orangtua untuk melepas dan memberi kepercayaan kepada anaknya.

Aku janji, jika suatu saat nanti menjadi orangtua, aku akan melatih anakku mandiri sejak kecil. Anakku harus berani sesekali naik angkot sendiri, pergi ke mana2 sendiri, SMA dan kuliah berangkat dengan naik motor sendiri, harus mau pergi ke pasar tradisional dan harus terbiasa melakukan apa2 sendiri sejak kecil. Mudah2an bapaknya anak2 nanti juga mendukungku. Kekhawatiran yang berlebihan hanya akan menghambat proses seseorang menjadi dewasa dan mandiri.
Yeaaah..... lihat saja nanti....... ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar